Minggu, 07 Desember 2008
Sabtu, 15 November 2008
Negarawan dan Politisi
Dalam beberapa bulan ke depan kita akan dihadapkan dengan hajatan terbesar demokrasi, Pemilu Legislatif dan Pilpres. Tanda-tanda menjelang hajatan itu mulai telihat saat ini. Hampir semua sarana perkenalan digunakan untuk memperkenalkan diri. Dari semula tidak dikenal menjadi terkenal. Dari bukan siapa-siapa sebelum mencalonkan diri menjadi bak pahlawan masa kini, tokoh pembaharuan dan perubahan, seolah pembela wong ciliklah, pembela petani, nelayan dan lain-lain pokoknya yang kesannya membela, melindungi dan merasakan penderitaan rakyat lah.
Tapi apa benar?? Lalu kemana saja mereka sebelum ini?? Bagaimana kinerja mereka ketika diberi amanah?? Apakah sesuai dengan janji-janjinya?? Kenapa baru sekarang baru hingar-bingar memerankan aktor/aktris dalam drama perpolitikan yang semakin dekat dengan klimaksnya??
Pilihan sulit akan menghadapi kita dalam memilih “tokoh-tokoh” kita nantinya. Kita harus jeli dan cerdas dalam memilih. Apakah yang kita pilih adalah seorang politisi sejati yang tidak rela gelar dan nafsu politisnya hilang atau seorang politisi yang siap untuk menjadi negarawan dan melepas nafsu politisnya. Seorang politisi biasanya bekerja untuk jangka waktu yang lebih pendek, pragmatis dan lebih sering mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya. Watak dan perilaku politisi kita yang sudah umum adalah menjadikan rakyat sebagai obyek. Rakyat hanya dijadikan angka-angka yang diolah demi ambisinya. Itulah yang sering dijual pada publik : akrobat angka-angka. Sementara seorang negarawan biasanya visioner, lebih terbuka, bijak dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Seorang negarawan tidak rela rakyatnya menderita, baginya penderitaan yang dirasakan rakyat harus dialah yang lebih dulu dan lebih banyak merasakannya. Saat ini sepertinya sulit bagi kita mencari calon-calon negarawan layaknya Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir atau Jendral Soedirman. Tokoh-tokoh yang ada kini seolah hasil “sulap” dari pencitraan positif di berbagai media komunikasi. Gimana ga “sulap”, sebab hampir tiap tokoh-tokoh populer yang saat ini beredar di berbagai media mempunyai tim-tim (konsultan) yang terdiri dari pakar-pakar komunikasi, periklanan, pemasaran hingga statistik yang mampu membentuk pencitraan yang positif bagi masyarakat. Jadi masyarakat yang awan tentunya bisa tertipu.
Jadi pilih politisi atau negarawan???
Cyber Politic : Arena Baru Permainan Politik
Perkembangan zaman berupa modernisasi dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuka peluang bagi para pelaku politik. Para pelaku politik mempunyai banyak pilihan dalam menyampaikan pemikiran, ide, kebijakan, kritik, ajakan dan sebagainya kepada masyarakat. Para pelaku politik khususnya yang baru memulai karirnya, juga dapat memperkenalkan diri kepada calon-calon massanya. Adanya blog, website, YouTube, situs-situs jejaring sosial (seperti Friendster, Hi5, etc.), mailing list (milist) terbukti sangat membantu. Hal ini membuktikan bahwa politik juga mengalami transformasi seiring kemajuan dan modernisasi zaman. Kini politik telah banyak merambah di dunia cyber. Banyak tokoh-tokoh yang mulai memanfaatkannya belakangan ini. Hitung-hitungan ekonominya, berpolitik di dunia cyber lebih irit daripada berpolitik secara langsung seperti dengar pendapat, kampanye, temu massa, dan lain-lain yang membutuhkan tidak sedikit biaya. Tapi kelemahannya, cyber politic hanya bisa di akses oleh orang-orang yang melek teknologi, yah bisa dikatakan orang-orang yang memiliki pendidikan yang cukup baik. Sementara untuk orang yang gagap teknologi mungkin keberadaan cyber politic belum bisa dimanfaatkan dengan baik. Cyber Politic ternyata tidak hanya dimanfaatkan sebagai area pertarung positif bagi para pemainnya tetapi juga dijadikan sebagai sarana saling menjatuhkan, dan menghina lawan-lawannya. Sering kita jumpai di milist-milist, blog dan lainnya adanya “perang” argumen yang berakhir pada pelecehan dan penghinaan. Oleh karena itu, dibutuhkan kedewasaan pemikiran dan mental dalam memahami permainan di dunia cyber politic.
Melihat fenomena cyber politic, mungkin ini pertanda kalau tingkat SDM negera kita sudah mulai ada peningkatan. Amiin….
Minggu, 09 November 2008
Obamanema
Jika ada seseorang diluar sana yang masih ragu bahwa Amerika adalah sebuah tempat yang memungkinkan segala sesuatu terjadi, Jika ada yang masih bertanya-tanya apakah mimpi para pendiri bangsa ini masih bisa menjadi nyata di masa sekarang dan jika ada yang masih mempertanyakan kekuatan demokrasi, maka malam ini jawabannya
Victory speech Barack Hussein Obama seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa segalanya masih bisa terjadi di Amerika. Obama menjadi orang Afro-America pertama yang berhasil menjadi penghuni White House, padahal beberapa puluh tahun lalu orang-orang Afro (Negro) masih mengalami diskriminasi oleh orang white skin. Kemenangan Obama menunjukkan bahwa rakyat Amerika tidaklah buta akan warna kulit, etnis dll yang notabene masih kuat di negeri kita. Obama berhasil menjual ide “Change” kepada rakyatnya yang sudah jenuh akan pemerintahan Bush dan Republik yang sangat konservatif.
Kemenganan Obama menginspirasi hampir setiap orang yang mengikuti perkembangan Pilpres Amerika. Semoga saja inspirasi ini juga sampai di negeri kita. Negeri yang menurut saya masih kuat dipengaruhi budaya romantisme khususnya dalam berpolitik. Siapa dan bagaimana kemampuan seseorang sering dikalahkan oleh factor kedekatan suku, agama, gender ataupun komunitas. Ujung-ujungnya pilihan berdasarkan kedekatan bukan kepada kecakapan. Entahlah sampai kapan faktor ini bisa berubah menjadi tidak dominan, mungkin saja menunggu rakyat kita melek politik yang berarti meningkatnya SDM, Kesehjateraan dan Kesehatannnya. Bukti nyatanya, beberapa hari yang lalu saya mendengarkan statement salah seorang (mungkin) tim sukses Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam Pilpres RI nantinya, bahwa Sultan lebih layak jadi Presiden daripada JK, karena Sultan adalah suku Jawa dan titisan Raja sementara JK bukan Jawa, karena sangat sulit menjadi Presiden jika bukan suku Jawa. Dalam hal ini saya bukannya mendukung JK, menurut saya statement ini jelas sangat menyakiti perasaan suku bangsa lain yang ada di negeri ini. Rakyat seolah masih dibutakan oleh faktor-faktor romantisme kedekatan tertentu bukan pada personal capability dalam memimpin. Memang tidak dapat dipungkiri 70% penduduk negeri ini dari suku Jawa, namun bukan berarti Negara ini menjadi monopoli suku Jawa. Hal-hal seperti inilah yang membuat rakyat kita tidak berkembang dalam berpolitik juga membuat kita sebagai bangsa Indonesia mudah rapuh dalam persatuan. Apalagi para cendikiawan kita justru terkadang mengeksploitasi permasalahan ini dalam mengusung kepentingan politiknya.
Sabtu, 13 September 2008
Bulang...
Rabu, 06 Agustus 2008
Tidak Sekedar Panggung Sandiwara
Keterlibatan selebriti dalam panggung politik mungkin pertanda baik bagi iklim demokrasi yang juga dimanfaatkan dengan baik oleh parpol. Namun, ada beberapa aspek yang tidak boleh diabaikan oleh parpol yang melibatkan selebriti dalam aktivotas politiknya. Diantaranya adalah pendidikan politik bagi masyarakat. Mendukung selebriti untuk maju dalam Pilkada seharusnya memperhatikan kapasitas dan kapabilitas personalnya. Selebriti jangan hanya dijadikan vote gather saja. Harus ada tanggung jawab politik, sosial dan moral bagai parpol pengusung dan selebriti yang terlibat dalam politik untuk mencerdaskan masyarakat.
Agar demokrasi tidak terbatas pada aspek prosedural saja, namun juga berkembang ke arah substansial. Sudah seharusnya popularitas yang dimiliki selebriti dimanfaatkan untuk mendekati rakyat dan menyuarakan kebijakan dan sosialisasi nilai kebaikan.
Kini beberapa selebriti sudah sukses dalam pentas Pilkada, sebut saja Rano Karno dan Dede Yusuf. Sementara Helmi Yahya tengah bersiap-siap bertarung dalam Pilkada Sumsel. Dan yang cukup mengejutkan saya, munculnya nama-nama seperti Dewi Persik di Bogor Syaiful Jamil di salah satu daerah di Banten dan Primus Yustisio di Karawang yang kemungkinan diusung sebagai calon dalam Pilkada. Walaupun belum tentu maju, hal ini cukup mengherankan saya. Memang mereka punya hak. Tapi sudah seharusnya Parpol tidak hanya memandang popularitas saja. Aspek kapasitas dan kapabilitas harus jadi acuan utama. Dan memang tidak ada juga jaminan orang yang pintar bisa berhasil memimpin. Dan pada akhirnya keberhasilan kepemimpinan baru akan teruji jika mereka sudah memimpin. Wallahu’alam.......