Jumat, 30 Januari 2009

TIPOLOGI KEPEMIMPINAN

Beberapa hari ini pemberitaan dihangatkan oleh statement-statement politik para tokoh-tokoh yang diperkitakan akan maju sebagai Capres. Kita yg sementara sebagai penonton dapat menilai tipologi kepemimpinan masing-masing tokoh tersebut. Untuk itu, saya merasa perlu mempostkan hasil resume saya ketika kuliah dulu tentang tipologi kepemimpinan, semoga bermanfaat.

TIPOLOGI KEPEMIMPINAN

Gaya kepemimpinan seseorang tidak bersifat “fixed”, artinya seseorang yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk “membaca” situasi yang dihadapinya secara tepatdan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya, meski pun penyesuaian itu hanya bersifat sementara. Karena penyesuaian-penyesuaian tertentu memang merupakan kenyataan kehidupan manajerial seseorang yang menduduki jabatan pimpinan, logis apabila dikenel terlebih dahulu tipe-tipe pemimpin yang dikenal dewasa ini. Logis karena penyesuaian yang dilakukan menyangkut perubahan dari satu tip eke tipe yang lain, suatu perubahan yang mungkin hanya selama berlangsungnya situasi tertentu menurut penyesuaian tersebut.
Meski pun belum terdapat kesepakatan bulattentang tipologi kepemimpinan yang secara luas dikenal dewasa ini, lima tipe kepemimpinan yang diakui keberadaannya ialah:

1. Tipe yang otokratik,
2. Tipe yang paternalistik,
3. tipe yang kharismatik,
4. Tipe yang lasses faire, dan
5. Tipe yang demokratik.

Masing-masing tipe pemimpin tersebut diatas sudah barang tentu memiliki karakteristik tertentu yang membedakan satu tipe dari tipe yang lain. Banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis tipe-tipe tersebut. Salah satu contoh cara yang digunakan dalam menganalisis berbagai karakter yang dimiliki tipe-tipe ialah dengan melakukan kategorisasi dari berbagai karakter itu berdasarkan:

1. Persepsi seorang pimpinan tentang peranannya selaku pimpinan,
2. Nilai-nilai yang dianut,
3. Sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi,
4. Prilaku dalam pemimpin, dan
5. Gaya kepemimpinan yang dominant.

Dengan melakukan pendekatan demikian diharapkan akan terlihat dengan jelas bahwa tipe demokratik-lah yang memiliki karakteristik yang positif lebih banyak dari tipe-tipe yang lain, meskipun tipe demokratik pun tidak bebas dari kelemahan-kelemahan tertentu. Untuk memudahkan usaha mendalami tipologi kepemimpinan yang menjadi focus analisis ialah penjelasan singkat tentang lima kategori yang dikemukakan diatas kiranya diperlukan.

Pertama tentang persepsi, yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses penataan dan penerjemahan kesan-kesan seseorang tentang lingkungan dimana dia berada. Dinyatakan dengan cara yang sederhana, persepsi merupakan cara pandang seseorang terhadap lingkungannya. Suatu keadaan dapat diinterprestasikan sebagai “kenyataan” oleh seseorang bardasarkan persepsinya, meskipun kenyataan sebenarnya lain bentuk dan sifatnya.

Kedua tentang nilai-nilai yang dianut, yamg dimaksud dengan nilai-nilai ialah keyakinan dasar yang terdapat dalam diri seseorang tentang hal-hal yamg sangat mempengaruhi cara bertindak dan perilaku orang yang bersangkutan. Nilai berkaitan dengan pandangan seseorang tentang “baik” dan “buruk”, “benar” dan “salah”. Ada nilai yang disebut dengan nilai “teoritikal” diman seseorang mempunyai keyakinan tentang pentingnya usaha mencari “kebenaran ilmiah” dengan menggunakan pendekatan yang kritis dan rasional. Adapula nilai “ekonomis” yang menghargai segala sesuatu yang bersifat praktis dan bermanfaat. Terdapat juga niali “estetika” yang menempatkan harmoni diatas segala sesuatu dalam interaksi seseorang dengan orang lain. Nilai lain lagi adalah nilai “sosial” yang menempatkan kasih sayang terhadap sesama manusia ditempat teratas dalam hubungan seseorang dengan orang lain. Adapula nilai “politik” yang menyoroti kekuasaan dan pengaruh serta cara-cara memperolehnya sebagai hal yang diinginkan. Yang terakhir ada nilai “keagamaan” yang ditujukan kedalam usaha pemahaman kehadiran Tuhan Yang Maha Esa dalam segala sesuatu yang terdapat dan terjadi dialam semesta ini. Pemahaman tentang nilai-nilai yang dianut oleh seseorang yang menduduki jabatan pimpinan menjadi sangat penting karena berkaitan erat dengan tindakan dan prilakunya dalam memimpin organisasi.

Ketiga mengenai sikap, yang dimaksud dengan sikap ialah suatu bentuk pernyataan evaluatif oleh seseorang yang dapat menyangkut suatu objek, seseorang atau sekelompok orang atau suatu peristiwa. Sikap dapat bersifat positif, tetapi dapat pula bersifat negatife. Menurut penelitian para ahli, sikap seseorang sudah terbentuk dimasa kecilnya sebagai pengaruh dari orang tua, guru dan teman-temannya. Artinya sikap seseorang terbentuk karena dia meniru sikap orang-orang tertentu yang dihormati, dikagumi, atau bahkan mungkin ditakutinya. Dirkaitan dengan kepemimpinan, sikap akan menampakan diri dalam berbagai fungsi kepemimpinan tersebut.

Keempat mengenai perilaku, yang dimaksud perilaku ialah cara seseorang berinteraksi dengan orang lain. Jika pada mulanya pandangan seseorang tentang perilaku orang lain didasarkan pada intuisi dan bukan fakta, berkat studi keperilakuan, kini memungkinkan memahami perilaku seseorang sedemikian rupa sehingga perilaku tertentu dapat dijelaskan dan dapat diduga sebelumnya. Seseorang berperilaku tertentu sebagai akibat dari adanya keyakinan dalam diri orang yang bersangkutan bahwa tujuan tertentu merupakan jaminan terbaik untuk memelihara kepentingan orang yang bersangkutan.

Kelima mengenai gaya kepemimpinan, berbicara mengenai gaya sesungguhnya berbicara menganai “modalitas” dalam kepemimpinan. Modalitas berarti mendalami cara-cara yang disenangi dan digunakan oleh seseorang sebagai wahana untuk menjalankan kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan.

TIPE YANG OTOKRATIK

Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang dapat dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Analisis yang rasional memang membenarkan pandangan yang demikian.
Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois. Egoismenya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya, sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikannya sebagai kenyataan. Seorang pemimpin yang otokratik akan menerjemahkan disiplin kerja yang tinggi yang ditunjukan oleh para bawahannya sebagai perwujudan kesetiaanpara bawahan itu kepadanya, padahal sesungguhnya disiplin kerja itu didasarkan pada ketakutan, bukan kesetiaan. Persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya dan oleh karenanya organisasi diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadinya.
Dengan egoisme yang besar, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional. Berangkat dari persepsi yang demikian, seorang pemimpin yang otokratik cenderung menganut nilai organisasional yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuanya. Berdasarkan nilai-niolai demikian, seorang pemimpin yang otoriter akan menunjukan berbagai sikap yang menonjolkan “kekuatan-nya” antara lain dalam bentuk :

a. Kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
b. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengkaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan para bawahan.
c. Mengabaikan peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa dia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu diharapkan dan dituntut untuk melaksanakannya saja.

Pemimpin yang otokritik tidak akan mau menerima saran dari para bawahannya, kritik akan diartikannya sebagai usaha merongrong kekuasaan yang dimilikinya. Perilaku yang menonjolkan kekuasaan formal menjadi salah satu karakteristik utama dari seorang pemimpin yang otokritik. Dengan persepsi, nila-nilai, sikap dan perilaku demikian seorang pemimpin yang otokritik dalam praktek akan menggunakan gaya kepemimpinan yang :

a.Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya,
b.Dalam menegakan disiplin menunjukan kekakuan,
c.Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi,
d.Menggunaikan pendekatan punitive dalam hal tarjadinya penyimpangan oleh bawahan.

Harus diakuai bahwa apabila hanya efektivitas semata-mata yang diharapkan dari seorang pemimpin dalam mengemudikan jalannya organisasi, tipe otokritik mungkin saja mampu menyelenggarakan berbagai fungsi kepemimpinannya dengan “baik” hanya dalam arti tercapainya tujuan. Yang menjadi masalah utama ialah bahwa kebarhasilan mencapai tujuan semata-mata karena takutnya para bawahan terhadap pimpinannya.

TIPE YANG PATERNALISTIK

Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat dilingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya masyarakat yang agraris. Popularitas pemimpin yang dipaternalialistikkan oleh beberapa factor, seperti :

a.Kuatnya ikatan primordial,
b.“Extended family system”
c.Kehidupan masyarakat yang komunalistik,
d.Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat,
e.Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.

Salah satu ciri utama dari masyarakat tradisional demikian ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan olah para anggota masyarakat kepada orang tua atau orang yang dituakan. Biasanya orang-orang yang dituakan terdiri dari tokoh-tokoh adapt, para ulama dan guru.

Persepsi seorang pemimpin yang paternalistic tentang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan para pengikutnya kepadanya. Ditinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan kebersamaan, kepentingan bersama dan perlakuan yang seragam terlihat menonjol. Artinya pemimpinyang paternalistik memperlakukan bawahannya secara adil dan merata. Sikap kebapaan memang menyebabkan hubungan atasan dan bawahan lebih bersifat informal, hubungan tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa para bawahan itu belum mencapai tingkat kedewasaan dalam cara bertindak dan berpikir sehingga memerlukan bimbingan dan tuntunan terus menerus. Tidak jarang terjadi bahwa sebagai akibat dari adanya pandangan bahwa para bawahan itu belum dewasa, seorang pemimpin yang paternalistic dapat bersikap terlalu melindungi bawahannya, akibatnya para bawahan itu takut bertindak karena takut berbuat kesalahan. Konsekuensi dari perilaku demikian ialah bahwa para bawahan tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide dan saran. Berarti para bawahan tidak didorong untuk berpikir scara inovatif dan kreatif. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin yang paternalistik lebih bercorak pelindung. Artinya kebersamaan bagi para anggota organisasi sedangkan pemimpin yang bersangkutan berada diatas para anggotanya tersebut.

TIPE YANG KHARISMATIK

Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seorang pemimpin yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tertentu itu dikagumi. Penampilan fisik ternyata bukan ukuran yang berlaku umum, usia pun tidak selalu dapat dijadikan ukuran. Jumlah harta harta yang dimiliki pun nampaknya tidak tidak bias digunakan sebagai ukuran. Mungkin karena kekurangan pengetahuan untuk menjelaskan criteria ilmiah mengenai kepemimpinan yang kharismatik, orang lalu cenderung mengatakan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki “kekuatan ajaib” yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah yang menjadikan orang-orang tertentu itu dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik.
Para pengikut seorang pemimpin yang kharismatik tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan prilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang diikutinya itu.walaupun seorang pemipin yang kharismatik menggunakan gaya yang otokritik atau ditaktorial, para pengikutnya tetap setia kepadanya. Daya tarik pun tetap besar bila menggunakan gaya-gaya kepemimpinan yang lain.
Hanya saja jumlah pemimpian yang tergolong sebagai pemimpin yang kharismatik tidak besar dan mungkin jumlah yang sedikit itu pulalah yang menyebabkan tidak cukup data empiris yang dapat digunakan untuk menganalisis secara ilmiah karakteristik pemipim yang demikian dengan rinci.

TIPE YANG LAISSEZ FAIRE

Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pemimpin tidak perlu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Singkatnya, seorang pemimipin yang laissez faire melihat peranannya sebagai “polisi lalu lintas”.
Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin tipe laissez faire dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solideritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma yang telah disepakati bersama, mempunyai rasa tanggung jawab yang besarterhadap tugas yang harus diembannya. Bertitik tolak dari nilai-nilai organisasional demikian, sikap seorang pemimpin yang laissez faire dalam memimpin organisasi dan bawahannya biasanya adalah sikap yang permisif, dalam arti bahwa para anggota organisasi boleh saja bertindak sesuai dengan keyakinan dan bisikan hati nuraninya asal saja kepentingan barsama tetap terjaga dan tujuan organisasi tetap tercapai.
Dengan sikap yang permisif, prilaku seorang pemimpin yang laissez faire cenderung mengarah kepada tindak-tanduk yang memperlakukan bawahan sebagai rekan sekerja, hanaya saja kehadirannya sebagai pimpinan diperlukan sebagai akibat dari adanya struktur dan hirarki organisasi.
Dengan telah mencoba mengidentifikasikan karakteristik utama seorang pemimpin yang laissez faire ditinjau dari kriteria persepsi, nilai, sikap, dan prilaku diatas, mudah menduga bahwa gaya kepemimpinan yang digunakannya adalah :

a. Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif,
b. Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang menuntut keterlibatannya secara langsung,
c. Status quo organisasional tidak tertanggung,
d. Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri,
e. Selama para anggota organisasi menunjukan prilaku dan prestasi yang baik, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.
Perlu ditekankan bahwa mudah mengidentikan gaya kepemimpinan yang demikian dengan gaya kepemimpinan yang demokratik, padahal sesungguhnya tidak demikian. Ada perbedaan-perbadaan nyata dan pundamental antara seorang pemimpin yang laissez faire dengan pemimpin yang demokratik.


TIPE YANG DEMOKRATIK

Tipe pemimpin yang paling ideal adalah pimpinan yang demokratik. Pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang paling efektif dalam kehidupan organisasional karena ada kalanya, dalam hal bertindak dan mengambil keputusan , bias terjadi keterlambatan sebagai konsekuensi keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi dengan berbagai kelemahannya, pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai pemimpin terbaik karena kelebihan-kelebihannya mengalahkan kekurangan-kekurangannya.
Sudah barang tentu persepsi, nilai, sikap dan prilaku demikian kesemuanya bermuara pada gaya kepemimpinan yang digunakan. Gaya yang dimaksud menempatkan unsure manusia dalam organisasi pada posisi yang paling sentral “people centered”. Gaya demikian biasanya mengejawantah dalam berbagai hal seperti :

a. Pandangan bahwa betapapun besarnya sumber daya dan dana yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasio;
b. Dalam kehidupan organisasional tidak mungkin, tidak perlu, dan bahkan tidak boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pimpinan;
c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peransertanya dalam proses pengambilan keputusan;
d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan para bawahan sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk social, dan sebagai individu sebagai karakteristik dan jati diri yang khas yang mempunyai kebutuhan yang sangt kompleks;
e. Usaha memperoleh pengakuan yang tulus dari para bawahan atas kepemimp[inan orang yang bersangkutan didasarkan kepada pembuktian kemampuan memimpin organisasi dengan efektif.

Selasa, 27 Januari 2009

Imlek, Nelayan dan Dingkis

Sebagai daerah yang memiliki komunitas Tionghoa yang cukup banyak, Batam dapat dikatakan sebagai salah satu Pecinan Indonesia. Maka, tidaklah heran memasuki Tahun Baru Imlek suasana Kota Batam mulai disesuaikan dengan Perayaan Imlek. Animo Imlek (sienci) itu terlihat hampir disetiap tempat hiburan, restoran, hotel dan pusat perbelanjaan. Tanglong, angpao, ikan dingkis, jeruk (orange) mandarin yang mungil, serta hiasan berwarna merah lainnya menjadi penyemarak yang wajib ada pada Imlek. Perayaan imlek layaknya perayaan hari raya lainnya, sangat menggerakkan laju roda perekonomiaan. Sebagai contoh kecil adalah Ikan Dingkis, ikan yang paling di gemari warga Tionghoa karena dipercayai membawa Hoki. Di tempat tugas saya, yang notabene masyarakatnya mayoritas berprofesi nelayan sangat antusias sekali menyambut Imlek. Hal ini karena harga Ikan Dingkis yang melonjak tajam (bagi saya sudah tidak masuk akal) hingga Rp 150 ribu per kilonya, padahal di hari-hari biasa harganya paling tinggi juga Rp 50 ribu. Jadi masyarakat nelayan memfokuskan pada pencarian dan perawatan dingkis sehingga bisa dijual semaksimal mungkin ketika Imlek. Ikan Dingkis ini bahkan juga di ekspor sampai Singapura. Dapat kita bayangkan betapa bergeliatnya perekonomian masyarakat nelayan kita. (btw, kecamatan saya mendapat undangan untuk santap ikan dingkis bertelur,hehehe...)
Gong Xi Fat Cai. Semoga keberuntungan selalu bersama….

Kamis, 01 Januari 2009

Saatnya Rakyat (benar-benar) Memilih


Dianulirnya ketentuan sistem nomor urut oleh Mahkamah Konstitusi dalam Pemilu Legislatif memberi warna baru demokrasi negeri kita. Ini merupakan keputusan yang sangat bijak dan cerdas. Ketentuan lama yang menetapkan Caleg berdasarkan nomor urut teratas seakan membodoh-bodohi masyarakat. Jika berada di nomor urut rendah pilihan mayoritas masyarakat belum tentu bisa melenggang jadi anggota legislatif jika tidak memenuhi jumlah suara standar untuk dapat duduk menjadi anggota legislative. Akibatnya, suara-suara yang tanggung itu di konversi (disumbangkan) ke suara nomor urut atas, dan melengganglah caleg dengan nomor urut ke gedung dewan. Efek negative dari metode ini selain membodohi masyarakat, tidak menutup kemungkinan terjadi jual beli nomor urut, jual beli suara (bahasa politikny kompensasi buat caleg nomor urut bawah yang mau tidak mau harus “menyumbangkan” hasil suara untuknya). Sudah menjadi rahasia umum kalau jual beli nomor urut dan jual beli suara terjadi. Oleh karena itu dengan dihapuskannya system ini dan diganti dengan suara terbanyak membuka kesempatan yang sama bagi setiap caleg. Nomor urut 1 bukan jaminan dan nomor urut buncit bukan lagi menjadi peramai. Kini, nomor bukan lagi menjadi hambatan. Masing-masing Caleg tidak hanya beradu dengan caleg partai lain tapi juga dengan internal partainya. Dan inilah pertarungan politik yang sesungguhnya.
Lalu rakyatlah sang penentu kemenangan itu. Kemenangan berdasarkan pilihan mayoritas rakyat. Sesuailah dengan ungkapan demokrasi yang terkenal: suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan disaat rakyat yang menentukan kemenangan, sudah saatnya memilih dengan cerdas dan kritis. Jangan mudah terbuai dengan janji-janji yang bisa jadi semu apalagi dengan hiburan lagu atau goyang dangdut. Saatnya kita sebagai penentu kemenangan mampu melihat, mengenali dan menilai calon kita apakah mampu membawa kepentingan rakyat atau hanya sekedar mencari kerja/penghasilan di lembaga legislative. Kita bisa melihat track record mereka sebelumnya, dan kita juga bisa menilai apakah usaha caleg-caleg tersebut untuk menang dilakukan dengan cara yang jujur, simpatik dan cerdas atau dengan cara yang tidak jujur, membodoh-bodohi masyarakat apalagi kalau sudah bemain money politics. Saya tidak menafikan bahwa kemenangan membutuhkan modal yang tidak sedikit, apalagi modal uang. Sosialisasi membutuhkan biaya. Tapi bukan berarti uang adalah segalanya, termasuk untuk menyuap dan membodohi masyarakat. Disinilah pentingnya kita mengetahui track record caleg-caleg tersebut. Beberapa minggu lalu saya membaca di sebuah berita yang memprihatinkan disebuah harian di Batam bahwa salah seorang Ketua DPD Partai yang cukup populer berdasarkan survey saat ini ditangkap di Jambi karena terlibat kasus Narkoba. Dan yang lebih mencengangkan lagi sekaligus menyesakkan, menurut pengakuannya tujuan ke Jambi dalamrangka bisnis dan menggandakan uang pada ahlinya(mungkin dukunnya kali??), yang menurut akal sehat saya sangat tidak masuk akal uang dapat digandakan dengan nilai setinggi yang diutarakannya, gimana ga masuk akal kalau kelipatnnya bisa mencapai ratusan persen (bisa ngalahkan Bernie Maddoff sang tokoh penyebab krisis financial dunia dengan menghanguskan uang Rp 600T melalui model ponzi/pyramid dalam bisnis “menganakan” uang !!!). Hal ini hanya sekelumit contoh betapa bahayanya jika kita tidak cerdas dalam memilih. Kalau saja salah memilih siap-siaplah kita menggaji mereka Cuma-Cuma selama 5 tahun, belum lagi kebijakan yang diharapkan pro-rakyat ternyata tidak terwujud. Dan pada akhirnya kita juga sebagai rakyat yang merasakan imbasnya. Jadi Cerdaslah Memilih!!! Dan kita memiliki Caleg yang berkualitas baik iman, moral dan tingkah lakunya. Insya Allah

Nikah Massal di Kecamatan Bulang


Dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriah, Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Batam, Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bulang dan Camat Bulang mengadakan Acara Nikah Massal Kecamatan Bulang pada hari Rabu, 31 Januari 2008 di Bulang Lintang. Kegiatan ini di latar belakangi oleh banyaknya penduduk di Kecamatan Bulang yang belum memiliki/belum terdaftar menikah secara sah menurut ketentuan hukum formal. Keterbatasan pengetahuan, kondisi ekonomi dan kondisi geografis tempat tinggal mereka inilah yang membuat mereka jarang mengurus pernikahan secara sah di mata hukum formal. Sebenarnya kuota untuk nikah massal ini hanya untuk 30 pasangan, namun hingga akhir pendaftaran peserta membludak hingga 70 pasangan, hal ini tentu saja membuat panitia cukup kaget. Namun hal ini dapat segera diatasi, semua pasangan yang telah memenuhi persyaratan tetap di fasilitasi untuk mengikuti nikah massal. Dan yang cukup menarik bagi saya adalah peserta nikah massal ini umumnya adalah warga yang cukup berumur bahkan ada yang anaknya sudah seusia saya. Kegiatan ini ternyata mampu mendorong tercipta kesadaran warga betapa pentingnya mencatatkan pernikahananya secara legal menurut ketentuan hukum formal. Dalam sambutannya Camat Bulang (diwakili oleh Sekcam Ibu Hendriana Gustini,S.Sos) maupun Ketua BAZ dan Kepala KUA sangat berbahagia dengan diselenggarakan acara ini, dan melihat antusiasme warga dalam acara ini insyaAllah baik Camat-BAZ-KUA berniat untuk menyelenggarakan kegiatan serupa di masa yang akan datang.
Selamat Berbahagia Para “Pengantin Baru” (lagii)…..

Minggu, 07 Desember 2008

Sabtu, 15 November 2008

Negarawan dan Politisi


Dalam beberapa bulan ke depan kita akan dihadapkan dengan hajatan terbesar demokrasi, Pemilu Legislatif dan Pilpres. Tanda-tanda menjelang hajatan itu mulai telihat saat ini. Hampir semua sarana perkenalan digunakan untuk memperkenalkan diri. Dari semula tidak dikenal menjadi terkenal. Dari bukan siapa-siapa sebelum mencalonkan diri menjadi bak pahlawan masa kini, tokoh pembaharuan dan perubahan, seolah pembela wong ciliklah, pembela petani, nelayan dan lain-lain pokoknya yang kesannya membela, melindungi dan merasakan penderitaan rakyat lah.

Tapi apa benar?? Lalu kemana saja mereka sebelum ini?? Bagaimana kinerja mereka ketika diberi amanah?? Apakah sesuai dengan janji-janjinya?? Kenapa baru sekarang baru hingar-bingar memerankan aktor/aktris dalam drama perpolitikan yang semakin dekat dengan klimaksnya??

Pilihan sulit akan menghadapi kita dalam memilih “tokoh-tokoh” kita nantinya. Kita harus jeli dan cerdas dalam memilih. Apakah yang kita pilih adalah seorang politisi sejati yang tidak rela gelar dan nafsu politisnya hilang atau seorang politisi yang siap untuk menjadi negarawan dan melepas nafsu politisnya. Seorang politisi biasanya bekerja untuk jangka waktu yang lebih pendek, pragmatis dan lebih sering mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya. Watak dan perilaku politisi kita yang sudah umum adalah menjadikan rakyat sebagai obyek. Rakyat hanya dijadikan angka-angka yang diolah demi ambisinya. Itulah yang sering dijual pada publik : akrobat angka-angka. Sementara seorang negarawan biasanya visioner, lebih terbuka, bijak dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Seorang negarawan tidak rela rakyatnya menderita, baginya penderitaan yang dirasakan rakyat harus dialah yang lebih dulu dan lebih banyak merasakannya. Saat ini sepertinya sulit bagi kita mencari calon-calon negarawan layaknya Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir atau Jendral Soedirman. Tokoh-tokoh yang ada kini seolah hasil “sulap” dari pencitraan positif di berbagai media komunikasi. Gimana ga “sulap”, sebab hampir tiap tokoh-tokoh populer yang saat ini beredar di berbagai media mempunyai tim-tim (konsultan) yang terdiri dari pakar-pakar komunikasi, periklanan, pemasaran hingga statistik yang mampu membentuk pencitraan yang positif bagi masyarakat. Jadi masyarakat yang awan tentunya bisa tertipu.

Jadi pilih politisi atau negarawan???

Cyber Politic : Arena Baru Permainan Politik


Perkembangan zaman berupa modernisasi dan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuka peluang bagi para pelaku politik. Para pelaku politik mempunyai banyak pilihan dalam menyampaikan pemikiran, ide, kebijakan, kritik, ajakan dan sebagainya kepada masyarakat. Para pelaku politik khususnya yang baru memulai karirnya, juga dapat memperkenalkan diri kepada calon-calon massanya. Adanya blog, website, YouTube, situs-situs jejaring sosial (seperti Friendster, Hi5, etc.), mailing list (milist) terbukti sangat membantu. Hal ini membuktikan bahwa politik juga mengalami transformasi seiring kemajuan dan modernisasi zaman. Kini politik telah banyak merambah di dunia cyber. Banyak tokoh-tokoh yang mulai memanfaatkannya belakangan ini. Hitung-hitungan ekonominya, berpolitik di dunia cyber lebih irit daripada berpolitik secara langsung seperti dengar pendapat, kampanye, temu massa, dan lain-lain yang membutuhkan tidak sedikit biaya. Tapi kelemahannya, cyber politic hanya bisa di akses oleh orang-orang yang melek teknologi, yah bisa dikatakan orang-orang yang memiliki pendidikan yang cukup baik. Sementara untuk orang yang gagap teknologi mungkin keberadaan cyber politic belum bisa dimanfaatkan dengan baik. Cyber Politic ternyata tidak hanya dimanfaatkan sebagai area pertarung positif bagi para pemainnya tetapi juga dijadikan sebagai sarana saling menjatuhkan, dan menghina lawan-lawannya. Sering kita jumpai di milist-milist, blog dan lainnya adanya “perang” argumen yang berakhir pada pelecehan dan penghinaan. Oleh karena itu, dibutuhkan kedewasaan pemikiran dan mental dalam memahami permainan di dunia cyber politic.

Melihat fenomena cyber politic, mungkin ini pertanda kalau tingkat SDM negera kita sudah mulai ada peningkatan. Amiin….